Monday, January 29, 2007

Arsitektur Gedung Tinggi


"ARSITEKTUR GEDUNG TINGGI DUNIA, SIMBOL GENGSI DAN KEHACURAN"

Kemakmuran dan kehancuran sebuah negara dapat diukur dari pembangunan gedung-gedung tinggi. Sebuah fenomena yang pernah dialami Amerika Serikat pada 1920-an, dan kini sedang kita rasakan.
Pertumbuhan gedung-gedung tinggi atau gedung pencakar langit merupakan indikator dari pertumbuhan kota (negara) baik secara ekonomi, sosial maupun budaya, sehingga mendominasi wajah suatu kota, bahkan keberadaan gedung-gedung tinggi menjadi simbol suatu kota tak terkecuali dengan kota-kota yang ada di Indonesia. Kelahiran gedung-gedung tinggi tersebut adalah akibat perkembangan kebutuhan akan ruang-ruang untuk beraktifitas yang terus meningkat sedangkan lahan yang tersedia adalah tetap serta memusatnya kegiatan ekonomi pada suatu kawasan (Central Business District) mengakibatkan pertumbuhan kota secara vertikal.
Hal seperti ini selain akan mempersingkat jarak, juga mempersingkat waktu. Kelahiran gedung-gedung tinggi merupakan suatu revolusi arsitektur yang ditunjang dengan kemajuan teknologi dan tetap memiliki prinsip dasar arsitektur yaitu ruang, bentuk, dan fungsi sehingga memenuhi syarat untuk ditempati oleh manusia (habitation), sehingga Menara Eifel dan Menara Pisa sulit dikategorikan sebagai karya arsitektur dan masih perlu diperdebatkan.
Secara garis besar perkembangan gedung-gedung tinggi dapat dikelompokkan pada Periode Sebelum Perang Dunia II dengan stream Fungsionalism, Gaya Eklektik, Gaya Art-Deco dan Periode Setelah Perang Dunia II dengan stream The International Style, Gaya Post-Modern. Pengelompokan ini didasarkan atas perubahan yang sangat signifikan baik pada perwajahan arsitektur maupun dalam penerapan teknologi konstruksinya.
Perkembangan gedung-gedung tinggi juga ditunjang oleh teknologi yang lahir sebelumnya yaitu ditemukannya Elevator oleh Elisha Graves Otis pada tahun 1852 dan juga ditemukannya konverter baja oleh Sir Henry Bessemer tahun 1856 yang mampu menekan biaya struktur baja. Baja telah mulai dikenal sebagai konstruksi pada tahun 1830 bahkan telah digunakan sebagai konstruksi jembatan pertama kali pada tahun 1777 pada ‘The Ironbridge’, di Coalbrookdale, disungai Severn, Shropshire, Inggris oleh Abraham Darby.

PERIODE SEBELUM PERANG DUNIA II
Periode awal pertumbuhan gedung-gedung tinggi adalah merupakan karya arsitek–arsitek ‘Chicago School’ seperti ‘Home Insurance Building’, di Chicago, Illinois (1885) karya arsitek Le Barron Jenney dengan ketinggian 10 lantai, dianggap sebagai bangunan tinggi pertama didunia walaupun pada tahun 1870 sudah ada bangunan ‘The Equitable Building’, New York, setinggi 6 lantai sebagai bangunan pertama yang menggunakan elevator.
Tokoh yang paling menonjol adalah Louise Henry Sullivan dengan karyanya ‘Carson Pirie Scott Building’ di Chicago, Illinois (1904). Dia dianggap sebagai ‘bapak’ dari bangunan pencakar langit. Arsitek lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini terkenal karena menampilkan teknologi baru yaitu penyatuan antara teknologi rangka baja kedalam seni bangunan. Dia sangat peka dalam karya-karyanya terhadap permasalahan sosial, kesempurnaan bentuk dalam arsitektur dan demokrasi arsitektur, prinsip inilah yang dikenal dengan ‘Fungsionalism’, hal ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan mengenai karya-karyanya tersebut.
Pada awal 1900-an setelah depresi ekonomi, dimulai era baru pembangunan gedung gedung tinggi yaitu terjadi peralihan dari Chicago ke New York. Ada beberapa karya yang menonjol pada periode ini salah satunya adalah ‘Flatiron Building’, di New York (1903) karya arsitek Daniel Burnham. Pada periode ini mulai lahir arsitektur gedung tinggi bergaya ‘Eklektik’ yang merupakan reunifikasi dari gaya ‘flamboyant’ di Eropa yaitu berupa motif-motif dekorasi bangunan yang berasal dari Medieval, Gothik, dan Renaissance dalam skala yang diperbesar dan menggunakan bahan batu kapur dan terrakota dengan sentuhan Beaux-Art pada penyelesaiannya. Disini juga terjadi kasus-kasus penjiplakan bentuk bangunan dari bangunan sebelumnya seperti pada ‘Metropolitan Life Tower’, di New York, karya arsitek Pierre Le Born dengan ketinggian 213 m yang sangat mirip dengan ‘Campavile’, di St. Mark’s Square, Venesia. Hal yang juga banyak terjadi pada bangunan-bangunan di Indonesia saat ini. Penampilan gedung-gedung tinggi di New York banyak dikatakan sebagai ‘Monumen Kapitalis’.
Perkembangan selanjutnya, mulai masuknya Arsitektur bergaya ‘Art-Deco’ dari Eropa yang dibawa oleh orang-orang Amerika yang belajardisana maupun maupun oleh para imigran pasca perang Dunia I terutama para arsitek dan seniman. Pada periode ini arsitek dalam berkarya banyak dibantu oleh seniman yaitu dengan pemanfaatan produk pabrik sebagai selimut bangunan. Dalam berkarya arsitek memulai dengan suatu tema dengan penyelesaian yang rinci mulai dari taman sampai kepada ruang-ruang didalam bangunan. Perkembangan dari bangunan tinggi bergaya Art-Deco ini sangat menonjol di New York. Karya-karya arsitektur Art Deco yang menonjol yaitu yang ada di kawasan Manhattan, New York,diantaranya ‘Chrysler Building’ karya arsitek William Van Allen (1930) dengan ketinggian 319 m.

PERIODE SETELAH PERANG DUNIA II
Ketika terjadi Perang Dunia II (1940-1950), era pembangunan gedung-gedung tinggi juga terhenti. Selain menghancurkan perekonomian juga membawa perubahan terhadap wajah dunia pada pasca perang tersebut. Penampilan bangunan menjadi lebih sederhana dengan bentuk kubus dengan rangka bangunan yang diselimuti gelas dan miskin ornamen (hampir tidak ada), yang terlihat hanya garis-garis vertikal dan horizontal yang kaku dan oleh Bruno Taut dikatakan sebagai karya gambar anak-anak.
Dimulai dengan bangunan ‘Lever House’, karya arsitek Gordon Bunshaft (1952) dan diikuti oleh bangunan terkenal ‘Seagram Building’, di New York, karya arsitek Mies Van Der Rohe dan Philip Johnson dengan ketinggian 38 lantai.
Penampilan bangunan dengan bentuk ini mengakibatkan terjadinya persamaan bentuk dan menimpa negara-negara yang baru merdeka sehingga lahirlah karakter kolektif pada kota-kota dinegara berkembang, tak terkecuali dengan Indonesia. Penampilan seperti ini sering disebut sebagai tren 'International style' dengan ungkapan “Less is More”.
‘The International Style’ adalah perwujudan dari aliran arsitektur Modern dengan ideology “Form, Follow, Function”-nya. Tren arsitektur ini telah menjadi rezim arsitektur sampai awal tahun 1980-an, terutama di Amerika Serikat dan negara-negara berkembang lainnya. Gaya seperti ini tidak terlalu mendapat tempat di kota-kota Eropa yang umumnya padalah kota-kota tua yang memiliki sejarah yang panjang mengenai seni dan gaya dalam arsitektur, serta masyarakatnya sangat apresiatif dan memiliki pemahaman mengenai ‘histori’ kotanya. Sehingga tidak mudah untuk menghancurkan sebuah bangunan dan diganti dengan bangunanbaru yang lebih tinggi.
Ini perlu dipelajari oleh masyarakat dan pengambil kebijakan di Indonesia, karena kota-kota di Indonesia juga banyak memiliki sejarah dalam seni dan gaya arsitektur. Bangunan ‘Palace of Culture and Science’, di Warsawa, Polandia (1955), karya arsitek Rusia, Lev Rudnyer dengan ketinggian 42 lantai merupakan bangunan pada awal periode ini yang tidak terpengaruh sama sekali oleh ‘International Style’ tetapi lebih terinspirasi oleh bangunan ‘Wringley Building’, di Chicago, karya arsitek Graham, Anderson, Probst and White, yang banyak memakai ornamen dari Renaissance.
Pada awal 1970-an mulai terjadi perlawanan terhadap ‘International Style’ dengan bangunan yang tidak lagi sekedar berbentuk kubus kaca, tetapi sudah mulai ‘ilmu bentuk’ bangunan dipakai kembali. Penentangan tersebut dideklarasikan dengan matinya aliran ‘Arsitektur modern’ di St, Louise, Missouri pada penghancuran gedung ‘Pruitt-Igoe Housing’, St. Louise, karya arsitek Minoru Yamasaki pada tanggal 15 juli 1972, maka dimulailah era arsitektur bergaya ‘Post-Modern’. Minoru Yamasaki adalah juga arsitek dari gedung World Trade Centre (WTC) setinggi 417 m di New York , tahun 1972, yang hancur pada peristiwa 11 September 2001.
Gaya arsitektur Post-Modern ini benar-benar menonjol pada awal 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Gaya ini lahir dari kerinduan akan arsitektur yang lebih humanis dan kembali menghargai sejarah seni bangunan pada zaman sebelum arsitektur modern seperti Medieval, Renaissance, Classic, Barroq yang dalam penampilannya memakai konteks ‘kekinian’ dan memasukan unsur warna pada selimut bangunan dan terjadi sedikit pembalikan pada tingkat perwajahan dari kaidah-kaidah struktur yang seolah-olah mengolok-olok hukum grafitasi. Pada periode bangunan tinggi bergaya ‘Post-modern’ ini terdapat beberapa tokoh arsitek dengan bangunan terkenalnya antara lain ‘AT&T Building’, di New York (1985) karya arsitek Philip Johnson dengan ketinggian 37 lantai dengan inspirasi Renaissance yang menggunakan granit pinkis pada selimut bangunan. ‘Wacker Drive’, di Chicago (1983)karya arsitek William Pederson dari biro arsitek KPF (Kohn, Pederson & Fox) yang merupakan sebuah bangunan yang elegan dipinggir sungai Chicago. Di kawasan ini juga akan dibangun pada tahun 2003 'Chicago Skyscraper' setinggi 78 lantai milik Donald Trump, karya arsitek Adrian Smith.
Saat ini gedung tertinggi di dunia adalah 'Petronas Tower' di Kuala Lumpur, karya arsitek Italia Cesar Pelli. Bangunan ini memiliki luas lantai lebih kurang 2.286.000 m2 dan dapat menampung parkir sebanyak 4.500 mobil, dilengkapi dengan museum minyak, hall musik symphony dan pusat konferensi dengan teknologi multi-media. Dengan ketinggian 450 m bangunan ini sangat gigantik lebih tinggi 7 m dari ‘Sears Tower’ di Chicago, Amerika (443m) karya arsitek Fazlur Khan selesai dibangun tahun 1974 yang merupakan bangunan tertinggi didunia sebelumnya. ‘Petronas Tower’ didesain dengan konsep Arsitektur Islam dengan pendekatan pada prinsip geometri dan simbol arsitektur islam pada bentuk dasar tapak bangunan, dan memiliki siluet yang menyerupai menara pada ‘Mesjid Sulaymaniye’, di Istambul (Constantinople), Turki, karya arsitek Sinan yang dibangun tahun 1550-1557 pada masa kekaisaran Ottoman. ‘Petronas Tower’ telah menjadi simbol kota Kula Lumpur bahkan menjadi simbol nasional bagi negara Malaysia.


NEOCLASSICAL ARCHITECTURE
Neoclassical architectureThe neoclassical movement that produced Neoclassical architecture began in the mid-18th century, as a reaction against both the surviving Baroque and Rococo styles, and as a desire to return to the perceived "purity" of the arts of Rome, the more vague perception ("ideal") of Ancient Greek arts (where almost no Western artist had actually been) and, to a lesser extent, 16th century Renaissance Classicism.
There is an anti-Rococo strain that can be detected in some European architecture of the earlier 18th century, most vividly represented in the Palladian architecture of Georgian Britain and Ireland, but also recognizable in a classicizing vein of Late Baroque architecture in Paris (Perrault's east range of the Louvre), in Berlin, and even in Rome, in Alessandro Galilei's facade for S. Giovanni in Laterano. It is a robust architecture of self-restraint, academically selective now of "the best" Roman models.
Neoclassicism first gained influence in London, through the examples of Paris-trained Sir William Chambers and James "Athenian" Stuart, and in Paris, through a generation of French art students trained at the French Academy in Rome and influenced by the presence of Charles-Louis Clérisseau and the writings of Johann Joachim Winckelmann; it was quickly adopted by progressive circles in Sweden. In Paris, many of the first generation of neoclassical architects received training in the classic French tradition through a series of exhaustive and practical lectures that was offered for decades by Jacques-François Blondel.
At first, in thec 1760s and 70s, classicizing decor was grafted onto familiar European forms, as in Gatchina's interiors for Catherine II's lover Count Orlov, designed by an Italian architect with a team of Italian stuccadori (stucco workers). A second neoclassic wave, more severe, more studied (through the medium of engravings) and more consciously archaeological, is associated with the height of the Napoleonic Empire. In France, the first phase of neoclassicism is expressed in the "Louis XVI style" of architects like Ange-Jacques Gabriel (Petit Trianon, 1762–68); the second phase, in the styles we call "Directoire" or "Empire", might be characterized by Jean Chalgrin's severe astylar Arc de Triomphe (designed in 1806). In England the two phases might be characterized first by the structures of Robert Adam, the second by those of Sir John Soane.
Italy clung to Rococo until the Napoleonic regimes brought the new archaeological classicism, which was embraced as a political statement by young, progressive, urban Italians with republican leanings.
The center of Polish classicism was Warsaw under the rule of the last Polish king Stanisław August Poniatowski. The best known architects and artists, who worked in Poland were Dominik Merlini, Jan Chrystian Kamsetzer, Szymon Bogumił Zug, Jakub Kubicki, Antonio Corazzi, Efraim Szreger, Christian Piotr Aigner, Wawrzyniec Gucewicz and Bertel Thorvaldsen.
Karl Friedrich Schinkel's Elisabethkirche in Berlin (1832-1834)
Neoclassical architecture was exemplified in Karl Friedrich Schinkel's buildings, especially the Old Museum in Berlin, Sir John Soane's Bank of England in London and the newly-built "capitol" in Washington, DC. The Scots architect Charles Cameron created palatial Italianate interiors for the German-born Catherine II the Great in Russian St. Petersburg: the style was international.
Indoors, neoclassicism made a discovery of the genuine Roman interior, inspired by the rediscoveries at Pompeii and Herculaneum, which had started in the late 1740s, but only achieved a wide audience in the 1760s, with the first luxurious volumes of tightly-controlled distribution of Le Antichità di Ercolano. The antiquities of Herculaneum showed that even the most classicizing interiors of the Baroque, or the most "Roman" rooms of William Kent were based on basilica and temple exterior architecture, turned outside in: pedimented window frames turned into gilded mirrors, fireplaces topped with temple fronts, now all looking quite bombastic and absurd. The new interiors sought to recreate an authentically Roman and genuinely interior vocabulary, employing flatter, lighter motifs, sculpted in low frieze-like relief or painted in monotones en camaïeu ("like cameos"), isolated medallions or vases or busts or bucrania or other motifs, suspended on swags of laurel or ribbon, with slender arabesques against backgrounds, perhaps, of "Pompeiian red" or pale tints, or stone colors. The style in France was initially a Parisian style, the "goût Grèc" ("Greek style") not a court style. Only when the young king acceded to the throne in 1771 did Marie Antoinette, his fashion-loving Queen, bring the "Louis XVI" style to court.
At the Royal Scottish Academy, Edinburgh (1822-26), Playfair employs a Greek Doric octastyle portico
From about 1800 a fresh influx of Greek architectural examples, seen through the medium of etchings and engravings, gave a new impetus to neoclassicism that is called the Greek Revival.
Neoclassicism continued to be a major force in academic art through the 19th century and beyond— a constant antithesis to Romanticism or Gothic revivals— although from the late 19th century on it had often been considered anti-modern, or even reactionary, in influential critical circles. By the mid-19th century, several European cities - notably St Petersburg and Munich - were transformed into veritable museums of Neoclassical architecture.
In American architecture, neoclassicism was one expression of the American Renaissance movement, ca 1890-1917; its last manifestation was in Beaux-Arts architecture, and its very last, large public projects were the Lincoln Memorial (highly criticised at the time), the National Gallery in Washington, D.C., and the American Museum of Natural History's Roosevelt Memorial. These were white elephants as they were built. In the British Raj, Sir Edwin Lutyens' monumental city planning for New Delhi marks the glorious sunset of neoclassicism.
[Grafkapel de Loë in Heerlen (1848), Neoclassical architecture is also used on cemeteries

References
*Hakan Groth. Neoclassicism in the North
Hugh Honour, Neoclassicism
David Irwin, Neoclassicism (in series Art and Ideas) (Phaidon, paperback 1997
Stanislaw Lorentz. Neoclassicism in Poland (Series History of art in Poland)
Thomas McCormick, 1991. Charles-Louis Clérisseau and the Genesis of Neoclassicism (Architectural History Foundation)
Mario Praz. On Neoclassicism

In Italy and France
The Duomo, Syracuse, Italy: Andrea Palma, architect, 1728-1753
The sacred architecture of the baroque was mainly influenced by Italy, especially Rome and the paradigm of the basilica with crossed dome and nave. The centre of baroque secular architecture was France, where the open three wing layout of the palace was established as the canonical solution as early as the 16th century. But it was the Palais du Luxembourg (built 1615-1620) by Salomon de Brosse that established the paradigm of baroque architecture.
For the first time, the Corps des Logis was emphasized as the representative main part of the building, while the side wings were lower. The tower has been completely replaced by the central projection. The next step of development was the integration of the gardens in the composition of the palace, as is exemplified by Vaux-le-Vicomte (built 1656 - 1661) near Paris, where the architect Louis Le Vau and the gardener André Le Nôtre complemented each other. The same two artists scaled this concept to monumental proportions in the royal hunting lodge and later main residence of Palace of Versailles (extended 1661 - 1690). Versailles was the model of many other European residences including Mannheim, Nordkirchen, and Caserta, among others.
See also:Sicilian Baroque
In Central Europe
In Central Europe, the baroque period began somewhat later. Although the Augsburg architect Elias Holl (1573 - 1646) and some theoretists, including Joseph Furttenbach the Elder already practised the baroque style, they remained without successors due to the ravages of the Thirty Years' War. From about 1650 on, construction work resumes, and secular and ecclesiastical architecture are of equal importance. During an initial phase, master-masons from southern Switzerland and northern Italy, the so-called magistri Grigioni and the Lombard master-masons, particularly the Carlone family from Val d'Intelvi, dominated the field. However, Austria came soon to develop its own characteristic baroque style during the last third of the seventeenth century. Johann Bernhard Fischer von Erlach was impressed by Bernini. He forged a new Imperial style by compiling architectural motifs from the entire history, most prominently seen in his church of St. Charles Borromeo in Vienna. Johann Lucas von Hildebrandt also had an Italian training. He developed a highly decorative style, particularly in facade architecture, which exerted strong influences on southern Germany.
Frequently, the Southern German baroque is distinguished from the Northern German baroque, which is more properly the distinction between the Catholic and the Protestant baroque.
Augustusburg, a typical baroque palace from Westphalia.
In the Catholic South, the Jesuit church of St. Michael in Munich was the first to bring Italian style across the Alps. However, its influence on the further development of church architecture was rather limited. A much more practical and more adaptable model of church architecture was provided by the Jesuit church in Dillingen (1610-17): the wall-pillar church, i.e. a barrel-vaulted nave accompanied by large open chapels separated by wall-pillars. As opposed to St. Michael's in Munich, the chapels almost reach the height of the nave in the wall-pillar church, and their vault (usually transverse barrel-vaults) springs from the same level as the main vault of the nave. The chapels provide ample lighting; seen from the entrance of the church, the wall-pillars form a theatrical setting for the side altars. The wall-pillar church was further developed by the Vorarlberg school, as well as the master-masons of Bavaria. The wall-pillar church also integrated well with the hall church model of the German late Gothic age. The wall-pillar church continued to be used throughout the eighteenth century (e.g., even in the early neo-classical church of Rot a der Rot), and early wall-pillar churches could easily be refurbished by re-decoration without any structural changes, e.g., the church at Dillingen.
The Church of St. Nicolas in Prague. Radical Bohemian Baroque
However, the Catholic South also received influences from other sources, e.g., the so-called radical baroque of Bohemia. The radical baroque of Christoph Dientzenhofer and his son Kilian Ignaz Dientzenhofer, both residing at Prague, was inspired by examples from northern Italy, particularly by the works of Guarino Guarini. It is characterized by the curvature of walls and intersection of oval spaces. While some Bohemian influence is visible in Bavaria's most prominent architect of the period, Johann Michael Fischer, e.g., in the curved balconies of some of his earlier wall-pillar churches, the works of Balthasar Neumann are generally considered to be the final synthesis of Bohemian and German traditions.
Protestant sacred architecture was of lesser importance during the baroque, and produced only a few works of prime importance, particularly the Frauenkirche in Dresden. Architectural theory was more lively in the north than in the south of Germany, e.g., Leonhard Christoph Sturm's edition of Nikolaus Goldmann, but Sturm's theoretical considerations (e.g., on Protestant church architecture) never really made it to practical application. In the south, theory essentially reduced to the use of buildings and elements from illustrated books and engravings as a prototype.
Palace architecture was equally important both in the Catholic South and the Protestant North. After an initial phase when Italian architects and influences dominated (Vienna, Rastatt), French influence prevailed from the second decennium of the eighteenth century onwards. The French model is characterized by the horseshoe-like layout enclosing a cour d'honneur (courtyard) on the town side (chateau entre cour et jardin), whereas the Italian (and also Austrian) scheme presents a block-like villa. The principal achievements of German Palace architecture, often worked out in close collaboration of several architects, provide a synthesis of Austro-Italian and French models. The most outstanding palace which blends Austro-Italian and French influences into a completely new type of building is the residence at Würzburg. While its general layout is the horseshoe-like French plan, it encloses interior courtyards. Its facades combine Lucas von Hildebrandt's love of decoration with French-style classical orders in two superimposed stories; its interior features the famous Austrian "imperial staircase", but also a French-type enfilade of rooms on the garden side, inspired by the "apartement semi-double" layout of French castles.
In Polish-Lithuanian Commonwealth
Wilanów palace in Warsaw represents a modest type of baroque residence.
The first baroque church in Polish-Lithuanian Commonwealth was the Corpus Christi Church in Niasvizh, Belarus (1587). It also holds a distinction of being the first domed basilica with Baroque facade in the world and the first baroque piece of art in Eastern Europe.
In the early 17th century, the Baroque style spread over the Commonwealth. Important baroque churches include the Waza Chapel in the Wawel Cathedral, the SS. Peter and Paul, St. Anna and the Wizytek church in Kraków, SS. Peter and St. Paul church, St Casimir's Chapel and St Casimir's Church in Vilnius, Pažaislis monastery in Kaunas the Dominican and St George Church in Lwów, the Jesuit church in Poznań, the Xavier cathedral in Hrodno, the Royal Chapel in Gdańsk, and last but not least the Święta Lipka in Masuria. In Warsaw, which before WW2 was filled with Baroque residences, churches and houses, and where Tylman van Gameren was active, survived few important buildings - Wilanów Palace, Krasiński Palace, Bernardines church in Czerniaków and Late-baroque Wizytek church.
Architects such as Jan Krzysztoff Glaubitz were instrumental in forming the so-called distinctive "Vilnius Baroque" style, which spread throughout the region.
By the end of the century, Polish baroque influences crossed the Dnieper into the Cossack Hetmanate, where they gave birth to a particular style of Orthodox architecture, known as the Cossack baroque. Such was its popular appeal that every medieval church in Kiev and the Left-Bank Ukraine was redesigned according to the newest fashion.
In England and Russia
The church of the Sign near Moscow (1690-97) was one of the first baroque structures in Russia.
In England the culmination of Baroque architecture comes with Sir Christopher Wren, Sir John Vanbrugh and Nicholas Hawksmoor. Many examples of Baroque architecture and town planning are found in other European towns, and in the Spanish Americas. Town planning of this period featured radiating avenues intersecting in squares, which took cues from Baroque garden plans.
In Russia, the baroque architecture passed through three stages - the early Moscow baroque, with elegant white decorations on red-brick walls of rather traditional churches, the mature Petrine baroque, mostly imported from Low Countries, and the late Rastrelliesque baroque, in the words of William Brumfield, "extravagant in design and execution, yet ordered by the rhythmic insistence of massed columns and baroque statuary.
In Northern America: Mexico and California
Plateresque and Churrigueresque Baroque in Mexico: The baroque in Mexico derives from Plateresque and Churrigueresque architecture.
Late fifteenth-century Plateresque freely borrowed the decorative motifs of the intricately detailed work of silversmiths, the “Plateros.” In the seventeeth century, after the restrained Juan de Herrera interlude, decorated architecture in Spain reached an apotheosis in the exuberant —some would say capricious— Churrigueresque baroque, named after the Churriguera, a family chiefly known in its day for the design of altars.
Characteristic of both the Plateresque and Churrigueresque are the elaborate frontispieces that are then applied to an otherwise flat facade. The architectural elements in these decorations, columns, entablatures, pediments et al play a purely decorative role. With the Plateresque and Churriguerresque, Spain’s Gothic moment, based like all Gothic on structural purism, met its end.
The Spaniards eventually exported their decorated architecture to Southern Italy and to their colonies in the Americas. In the 18th century the Churrigueresque set roots in Mexico, while a native brand of Plateresque, the Mexican Plateresque, less exact in the carving of ornamental details than its Spanish forebear, emerged.
Being Mexico the most important colony of the New Spain, the trend of this Mexican Churrigueresque and Plateresque Baroque style in architecture would come to define Spanish Colonial architecture in North America with grand buildings masterfully carved, specially visible in the rich silver mining towns and the grand capital: Mexico City. This trend even included few, but much more humble and simplistic works of the small California Missions in the United States, when its territory still belonged to Mexico.

Arsitektur Klasikisme Fundamental



KLASIKISME FUNDAMENTAL


Untuk mempelajari aliran Klasikisme fundamentalis harus memperhatikan beberapa faktor berikut: tradisi, perkembangan kota sebelum masa-masa industri dan inti daripada arsitektur kontemporer adalah bahwa penggabungan kritis dari arsitektur dengan tradisi kota.

Pengertian Klasik fundamental:
Suatu aliran yang mengikuti tradisi, perubahan kembali dalam arsitektur pada suatu waktu yang berurutan, berkaitan dengan permintaan untuk kembali ke asal, dimana ekspresi yang dipakai tidak lekang oleh waktu.
Salah satu alasan terjadinya aliran ini adalah karena arsitektur kontemporer yang diikuti pada waktu itu telah kehilangan maknanya, dan oleh karena itu harus dikembalikan ke bentuk asalnya , atau yang diambil dari bentuk-bentuk yang murni.
Aliran fundamentalis klasik ini bukanlah mengambil secara keseluruhan aliran klasik tradisional yang ditandai dengan kemegahan arsitektur dan ornamen-ornamennya, tetapi mengambil nilai-nilai rasional dari aliran klasik sendiri, seperti arah tujuan yang terpaku pada suatu bentukan-bentukan geometris yang murni dan cenderung minimalis, dengan memakai bentukan-bentukan dasar dari kotak, kerucut, tabung, segitiga dan lain-lain.
Hal ini ditegaskan juga oleh Demetri Porphyrios yang mengatakan bahwa aliran klasik yang baru ini bukan dilihat dari banyaknya ornamen-ornamen bergaya klasik, tetapi pada segi rasional dari aliran klasik itu sendiri. Selain itu juga ditegaskan oleh Duany dan Plater-Zyberk yaitu bagaimana menciptakan suatu arsitektur yang memiliki aura klasik dengan detail-detail klasik seminimal mungkin. Duany dan Plater-Zyberk ini menciptakan aura arsitektur klasik pada rancangannya dengan memasukkan ruang-ruang terbuka seperti loggia ( kabin yang dibangun dari batang-batang kayu ), detail vestigial, dan komposisi rangka kaku untuk diterapkan dalam desainnya.
Secara umum, aliran klasikisme fundamentalist memiliki ciri-ciri: memberi kesan bila kita di dalamnya, kita merasa seperti seperti berada dalam suatu bangunan klasik baik dari ornamen, bentukan geometrinya atau dari bentuk strukturnya seperti adanya kolom-kolom besar.

Tokoh-tokoh aliran Klasikisme fundamentalis ini antara lain :
Aldo Rossi - mengatakan bahwa bangunan harus dianalisis sebagai suatu artifak kota/peninggalan-peninggalan berdasarkan pada bentuk-bentuk tipologi formal daripada tujuan fungsionalnya, karena fungsi memiliki hubungan yang lebih sedikit dengan masalah-masalah prinsip yang timbul dalam hubungannya dengan peninggalan-peninggalan kuno. Bagi Rossi arsitektur adalah suatu yang berkelanjutan dan menembus batas waktu, dan untuk mengerti bentuk-bentuk arsitektur fundamental, ia membawa mereka pada permasalahan kontemporer dengan cara berpikir rasional.
Contoh karyanya: Pemakaman (Cemetery), Modena, Italia ( 1971 )
Rafael Moneo – Bagi Rafael Moneo, Aldo Rossi merupakan tokoh panutan. Pada desain-desainnya, Moneo menerapkan konsep Paradigma Rasionalitis yang kompleks yang telah diajukan oleh Rossi pada waktu sebelumnya , yaitu dengan hasil rancangan yang mementingkan logika dan komposisi.
Contoh karyanya yang terkenal adalah : National Museum of Roman Art di Merida (1985), yang merekonstruksi reruntuhan bangunan kuno yang dibangun dengan desain yang membawa orang pada suasana jaman kuno.

Miguel Garray dan Jose-Ignacio Linazasoro - desain kedua orang yang sering bekerja sama ini lebih memberi tekanan pada “gaya” bukan pada penekanan tradisi. Linazasoro menekankan pada pemberian esensi dari bentuk-bentuk arsitektur, suatu proses yang tidak mengabaikan oranamen dan segi historis, tetapi juga tidak mengeksposnya.
Contoh karya mereka secara bersama-sama: Sekolah Ikastola di Fuenterrabia, Spanyol Utara(1974-78) dan Blok apartemen di Mendigorria (1979-80)
Contoh karya Garray: Casa Mendiola di Andoian, Basque (1977-78); Stasiun Kereta Api, Plaza de Atocha, San Sebastian (bekerjasama dengan Enrique Muga, tahun 1983) dan Cultural Centre di Ormazabal, Pasaya Antxo (1983)
Contoh karya Linazosoro: Pusat kesehatan di Segura, San Sebastian (1985) dan Pavillion and Garden di Segura, San antonio (1983-85)

Batey and Mack – berasumsi bahwa semua bentukan dari arsitektur berasal dari struktur dan konstuksinya. Karya-karya mereka menandakan adanya keseimbangan antara kekerasan dan kelembutan, dan formal.
Contoh karyanya: Holt Residence, Corpus Christi (1984) dan House of Napa Valley, San Fransisco (1944-1949)

Duany and Plater-Zyberk - karya-karya mereka mengesankan suatu desain classic dengan detail classic yang seminimal mungkin. Desain-desain mereka terlihat tidak nyaman dengan adanya pendekatan murni seperti menandakan bahwa mereka tidak memerlukan detail-detail, proporsi.
Contoh karya: Charleston Place, Boca Raton , Florida (1984); De La Cruz house, Key Biscayne, Miami (1983) dan Galen Medical Building , Boca Raton, Florida ( 1981-1983)

Alexander Tzonnis – dia menentang kedua perjalanan desain , baik dari desain tipikal yang brutal pada jaman setelah perang Australia, maupun gambaran dari arsitektur tipikal Inggris yang menginspirasikan gaya –gaya kedaerahan, dengan mengambil prinsip dari gubuk primitif fundamentalis.
Contoh karyanya: Federation Pavilion, Centennial Park, Sydney, Australia (1985-87) dan Henwood House, Paddington, Sydney, Australia )1985).

Robin Espie Dods - mendesain suatu bentuk tampak , dengan jendela yang minim, tetapi diperhalus oleh latar belakang padang rumput yang hijau dan dikelilingi oleh pagar besi. Bentukan desain dari Dods sendiri sangat masif dan minimalis , tetapi mencirikan suatu bentuk yang sangat tradisional dan bersifat hirarki, dengan entrance berbentuk portico yang letaknya di tengah.
Contoh karyanya: Ashton House, Woollahra, Sidney, Australia (1982); Grey House, Bowral, New South Wales, Australia (1987)

Demetri Porphyrious
Contoh karyanya: Propylon, Virginia Water, Surrey (1985); Pitzwilliam Museum Extension, Cambridge, England (1986); Pavillions in Highgate, London (1981) dan House of Greece (unbuilt project) (1981).

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh-contoh bangunan beserta alasannya mengapa bangunan tersebut termasuk aliran klasikisme fundamentalis.

ENTRANCE AT UKHAIDIR
Bangunan yang tampak pada gambar di atas dapat digolongkan ke dalam aliran fundamentalist classicism. Hal ini dapat disimpulkan dari bentuk bangunan itu sendiri yang memiliki ciri-ciri aliran fundamentalist classicism, yaitu: minim akan dekorasi/ pernik-pernik, memiliki pintu masuk yang menonjol (lebih mementingkan fungsi), memiliki bentuk bangunan yang cenderung ke bentuk dasar geometri, sistem strukturnya menggunakan sistem dinding pemikul, hal ini berakibat pada besarnya pembukaan (mis: jendela à cenderung kecil). Selain itu biasanya permukaan dindingnya dibiarkan polos tanpa plester atau minim akan plester. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka bangunan diatas dapat digolongkan ke dalam aliran fundamentalist classiscism.

HARCOURT HOUSE
Melihat bangunan pada gambar di atas, terdapat beberapa persamaan dengan bangunan yang didesain oleh Demetri Porphyrios , yaitu bangunan : House In Greece à aliran fundamentalis, maka bangunan di atas dapat digolongkan ke dalam aliran fundamentalis classicsm. Persamaan-persaman itu antara lain: sama-sama memiliki pintu masuk yang menonjol ( ada oversteknya dn ada kolomnya), sama-sama minim akn dekorasi/ pernik-pernik, sama-sama memiliki pembukaan yang minim, bentuknya sama-sama masih bentuk dasar geometris yaitu segitiga dan kotak. Secara garis besar bangunan ini seperti ingin menampilkan segi arsitektur kuno yang masih asli.

FOREST GATE HIGH SCHOOL
Bangunan Forest Gate High School ini dapat digolongkan dalam aliran fundamentalis classicsm , karena bangunan ini minim dengan ornamen-ornamen detail classic. Pemberian esensi lebih ditekankan pada bentuk-bentuk arsitektur, seperti bentukan-bentukan geometris dari bangunan, proporsi bangunan. Ornamen dan segi historis juga berperan dalam bangunan ini tetapi tidak untuk diekspos, jadi bangunan ini bebas dari ornamen-ornamen klasik sehingga berkesan kurang memberikan penekanan pada tradisi. Secara keseluruhan bangunan ini beraliran klasik dengan detail-detail klasik yang seminimal mungkin tetapi tetap mengesankan ciri-ciri masa lalu.